Hijrah bukan sekadar perjalanan menuju penampilan yang lebih Islami, tapi sebuah proses mendekatkan diri kepada Allah secara menyeluruh—jiwa, pikiran, dan perilaku. Banyak pasangan yang memulai hijrah bersama, merasakan manisnya belajar agama berdua, menghadiri kajian, mulai menata kehidupan lebih syar’i, dan saling menguatkan dalam ketaatan.

Namun, di tengah perjalanan, tak jarang salah satu dari mereka mengalami futur—fase turunnya iman dan semangat dalam beribadah. Yang semula rajin ngaji, mulai malas hadir. Yang dulu semangat shalat malam, mulai sering lalai. Dan yang dulu saling mengingatkan dalam kebaikan, kini terasa menjauh.
Lalu, bagaimana jika salah satu pasangan mengalami futur? Haruskah diamkan? Atau justru dibiarkan? Inilah saatnya kita memahami hikmah, adab, dan cara menghadapinya dengan bijak dan lembut.
1. Futur Itu Manusiawi, Bukan Aib
Hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa futur adalah bagian alami dari perjalanan iman. Bahkan para sahabat Nabi pun mengalaminya. Futur bisa disebabkan oleh kelelahan fisik, banyaknya masalah, pengaruh lingkungan, atau bahkan karena hilangnya fokus pada tujuan awal hijrah.
Iman itu naik-turun. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya iman itu bisa bertambah dan berkurang.”
(HR. Bukhari)
Maka ketika pasangan kita futur, bukan berarti ia berpaling dari agama. Bisa jadi ia hanya sedang lelah, butuh waktu, dan membutuhkan sosok yang tetap sabar mendampingi, bukan yang justru menjatuhkan.
2. Jangan Menghakimi, Tapi Pahami
Sikap menghakimi seperti “Kamu kok sekarang nggak kayak dulu lagi?” atau “Hijrahmu cuma tren, ya?” hanya akan memperburuk keadaan. Pasangan yang sedang futur justru butuh pemahaman, bukan tekanan. Cobalah pahami apa yang ia rasakan. Apakah karena tekanan pekerjaan? Lingkungan yang tak mendukung? Atau kehilangan arah dalam hijrahnya?
Tanyakan dengan lembut:
“Aku lihat kamu sedang nggak seperti biasanya. Mau cerita? Aku ada di sini, kok.”
Respons empatik seperti ini bisa membuka ruang komunikasi tanpa membuatnya merasa disalahkan.
3. Jangan Ikut Turun, Tapi Juga Jangan Meninggalkan
Saat pasangan futur, ujian terbesar kita adalah menjaga kestabilan iman diri sendiri. Jangan ikut futur hanya karena pasangan sedang lemah. Tapi juga jangan terburu-buru meninggalkan atau mengancam hubungan.
Alih-alih menjauh, tetaplah menjadi sumber cahaya. Perbaiki diri, tingkatkan ibadah, dan jadilah teladan yang bisa ia lihat. Kadang, seseorang butuh “diingatkan secara diam-diam” lewat akhlak dan keteguhan orang terdekatnya.
4. Ajak Kembali Tanpa Memaksa
Tidak semua orang suka ditegur langsung. Maka, pilihlah cara yang halus dan kreatif untuk mengajak pasangan kembali. Misalnya:
- Ajak nonton kajian bareng di YouTube sambil santai
- Putar murottal saat di rumah
- Kirimkan artikel ringan atau kutipan islami via chat
- Ajak shalat bareng tanpa menyindir
Usaha-usaha kecil ini akan lebih menyentuh dibanding teguran keras. Dan ingat, hidayah milik Allah. Tugas kita hanya berusaha dan mendoakan.
5. Perkuat Doa dalam Sujud dan Sepertiga Malam
Salah satu bentuk cinta terdalam adalah mendoakan pasangan diam-diam. Doakan dengan tulus dalam sujud dan di waktu-waktu mustajab:
“Ya Allah, kuatkan imannya, lembutkan hatinya, dan tuntunlah langkahnya untuk kembali dekat dengan-Mu.”
Doa pasangan kepada pasangannya memiliki kekuatan luar biasa. Saat kata-kata tak mampu menyentuh, biarkan doa menjadi jembatan antara hati yang lemah dan cahaya hidayah dari Allah.
6. Perkuat Lingkungan dan Komunitas
Futur sering kali diperparah oleh lingkungan yang menjauhkan dari Allah. Maka bantu pasangan kembali ke komunitas yang baik: kajian keluarga, halaqah, atau teman-teman shalih yang tidak menghakimi.
Bisa juga dengan ikut program hijrah berdua seperti:
- Weekend kajian untuk pasangan
- Trip bareng komunitas islami
- Kelas parenting islami
- Volunteering bersama
Kadang, yang dibutuhkan bukan ceramah panjang, tapi momen kecil yang menyentuh hati dan mengingatkan kembali pada tujuan hijrah.
7. Evaluasi: Apakah Hijrah Kita Hanya Bersandar pada Pasangan?
Jika salah satu pasangan futur, ini juga momen untuk evaluasi ke dalam. Apakah hijrah kita selama ini karena Allah, atau hanya karena ikut pasangan? Apakah selama ini kita terlalu mengandalkan manusia, bukan memperkuat koneksi kepada Allah?
Hijrah yang kokoh adalah hijrah yang dibangun atas dasar cinta kepada Allah dan takut kehilangan hidayah. Pasangan bisa berubah, tapi Allah tetap Maha Kekal.
8. Hijrah Butuh Waktu, Cinta Butuh Kesabaran
Ingatlah bahwa hijrah bukan lomba cepat-cepat sampai, melainkan perjalanan panjang yang butuh kesabaran, pengertian, dan cinta yang terus diperbarui. Ketika pasangan futur, jangan jadikan itu alasan untuk menyerah. Justru di saat seperti inilah cinta yang dewasa diuji — apakah kita mencintainya hanya ketika ia taat, atau tetap mendampinginya saat ia tersesat arah?
Mungkin Allah mengizinkan pasangan kita futur bukan untuk menjatuhkan, tapi agar kita bisa naik kelas dalam hal kesabaran, keikhlasan, dan kepedulian. Karena cinta sejati bukan hanya menerima keindahan, tapi juga setia dalam ujian.
Kesimpulan: Bertahan dan Bertumbuh Bersama
Hijrah bersama pasangan adalah anugerah, tapi juga ujian. Ketika salah satu futur, itu bukan tanda akhir dari perjalanan — tapi mungkin sinyal untuk berhenti sejenak, beristirahat, dan menyusun ulang arah.
Kita tidak menikah hanya untuk bahagia dunia, tapi untuk saling menuntun ke surga. Maka ketika pasangan goyah, genggam tangannya lebih erat — bukan untuk menyeret, tapi untuk menguatkan.
“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’”
(QS. Al-Furqan: 74)
Semoga kita termasuk di dalamnya — pasangan yang saling menguatkan dalam hijrah, bukan saling melemahkan.